Penulis: Majid Aulya Al Miqdad
adalah masalah perbedaan pendapat, acapkali kita pernah mendengar berita tentang demo penutupan rumah ibadah, pengeboman rumah ibadah, demo pembubaran majelis ta’lim, demo penolakan pembangunan rumah ibadah, demo penonaktifan kegiatan rumah ibadah, dan kegiatan lain yang terlihat intoleran terhadap perbedaan lainnya.
Sepanjang tahun 2024, Imparsial mencatatkan 23 pelanggaran kebebasan beragama , namun secara lebih rinci, SETARA Institute mencatat adanya 260 peristiwa dan 402 tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Secara tidak diduga, tercatat keikutsertaan aparat negara dalam KBB ini, setidaknya terdapat 159 tindakan berasal dari aparat negara, sebagian besar berasal dari institusi pemerintah daerah (50 tindakan), diikuti oleh kepolisian (30), Satpol PP (21), TNI dan kejaksaan (10), dan Forkopimda (6). Sedangkan 243 tindakan berasal dari non-aparat negara, terbanyak dilakukan oleh ormas keagamaan (49 tindakan), diikuti kelompok warga (40), individu warga (28), MUI (21), ormas umum (11), tokoh masyarakat (10) .
Klaim pelanggaran tersebut didasarkan UU HAM (UU No 39 tahun 1999) yang berlaku di Indonesia. Dimana seluruh warga negara dijamin seluruh hak-hak asasinya terlebih khusus dalam mengekspresikan ibadah spiritual mereka masing-masing.
Sebenarnya, bagaimana Islam memandang dan menyikapi perbedaan pendapat? Dalam tulisan ini, penulis berusaha menjawab pertanyaan ini secara ilmiah dengan kacamata hukum Islam dan UUD Indonesia dari sumber-sumber yang kredibel, terpercaya, dan mudah dijangkau oleh siapapun. Dan akan dibahas dalam dua bagian, bagian pertama membahas tentang perbedaan pokok keyakinan (akidah), dan yang kedua membahas perbedaan amalan anggota badan dalam agama islam (fikih).
Dalam Islam, keniscayaan pada keberadaan perbedaan adalah sebuah fakta tak terelakkan, Al Quran menjadi bukti bahwa firman Allah menceritakan hal itu, dalam surat Hud difirmankan:
﴿وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِن يُضِلُّ مَن يَشَاءُ وَيَهْدِي مَن يَشَاءُ ۚ وَلَتُسْأَلُنَّ عَمَّا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ﴾
Artinya: ” Jika Allah berkehendak, Dia bisa menjadikan seluruh manusia itu umat yang satu (tidak berpecah belah), akan tetapi Dia menyesatkan siapapun yang Dia kehendaki dan memberi petunjuk kepada yang dikehendaki-Nya, dan sungguh kamu akan ditanya tentang semua yang dahulu diperbuat ” QS An Nahl : 93.
Ayat diatas seolah-olah menjadi saksi kehendak Allah yang memang menginginkan adanya perbedaan dalam beragama, dalam ayat lain dijelaskan:
﴿وَلَوْ شِئْنَا لَآتَيْنَا كُلَّ نَفْسٍ هُدَاهَا وَلَٰكِنْ حَقَّ الْقَوْلُ مِنِّي لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ﴾
Artinya: ” Jikalau Kami berkehendak, Kami akan beri hidayah kepada seluruh jiwa, akan tetapi telah tetap keputusan-Ku untuk mengisi Neraka dengan sebagian dari golongan Jin dan manusia bersama-sama ” QS As Sajdah : 13.
Bahkan pada ayat kedua ini Allah ingin menegaskan bahwa orang-orang yang diberikan hidayah oleh-Nya lah yang akan mendapatkan keselamatan, ini bukti bahwa akan terjadi perselisihan pada manusia. Dan pada ayat lain bahkan disebutkan bahwa perbedaan beragama adalah maksud dan hikmah dari penciptaan manusia:
﴿وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً ۖ وَلَا يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ إِلَّا مَن رَّحِمَ رَبُّكَ ۚ وَلِذَٰلِكَ خَلَقَهُمْ ۗ وَتَمَّتْ كَلِمَةُ رَبِّكَ لَأَمْلَأَنَّ جَهَنَّمَ مِنَ الْجِنَّةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ ﴾
Artinya: ” Jikalau Rabbmu berkehendak, Dia menjadikan manusia itu umat yang satu, akan tetapi mereka akan terus berselisih Kecuali yang dirahmati oleh Rabbmu, dan karena sebab itulah Dia menciptakan mereka, dan telah tetap Keputusan Rabbmu untuk memasukkan sebagian golongan Jin dan manusia ke Neraka berbarengan ” QS Hud : 118-119.
Kendati perselisihan adalah hal yang dikehendaki oleh Allah, namun dalam agama Islam sendiri sejatinya masalah menyikapi perbedaan dalam menganut agama sudah tertera jelas secara eksplisit dan implisit dalam Al Quran dan Hadist, tapi perpaduan antara kebodohan, ketergesaan dalam bertindak, menyerahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, dan hawa nafsu telah banyak mengubah kondisi dan situasi sosial kemasyarakatan, bahkan menimbulkan kerusakan di muka bumi, dalam surat Ar Rum difirmankan:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴾
Artinya: ” Telah Nampak kerusakan di darat dan di laut diakibatkan oleh perbuatan manusia, Allah menghendaki mereka merasakan sebagian dari akibat yang telah mereka perbuat, agar mereka Kembali (ke jalan yang benar) ” QS Ar Rum : 41.
Dan dalam hadits disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
( “إِذَا وُسِّدَ الْأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ” )
Artinya: ” Jika urusan-urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah hari kiamat (yang sudah dekat) ” HR Bukhari No 59.
B. Perbedaan dalam pokok keyakinan (akidah)
Pengertian akidah dalam terminologi umum adalah segala hal yang diyakini secara kuat dan dalam oleh seseorang, baik itu muslim ataupun non-muslim, dan keyakinan tersebut tidak mengandung keraguan sedikitpun bagi penganutnya. Maka pada prakteknya jika seorang muslim meyakini bahwa Allah lah tuhannya satu-satunya tanpa keraguan itulah yang dinamakan akidah, begitupun non-muslim jika dia meyakini trinitas atau yang lainnya itu benar dan dia tidak ragu maka itulah yang disebut akidah untuk non-muslim tersebut menurut terminologi umum.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah orang-orang yang menganut agama selain agama Islam, baik di Indonesia ataupun di negara negara lain. Kalau kita pahami lebih lanjut, sebenarnya hakikat keberadaan mereka di negara tersebut bahkan kita dan saudara-saudara semuslim lainnya adalah warga negara yang dijamin keamanan hidupnya dan hak-hak asasi lainnya, serta diberi keamanan dalam mengekspresikan kegiatan-kegiatan kehidupannya termasuk kegiatan spiritualnya. Apalagi jika warga negara non-muslim tersebut tidak mengangkat senjata kepada kaum muslimin dan tidak mengusir kaum muslimin dari tanah mereka, maka disini jelas Al Quran melarang untuk berbuat buruk kepada mereka apalagi mengganggu kegiatan spiritual mereka, Allah berfirman:
﴿لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ﴾
Artinya: ” Allah tidak melarang kamu (berbuat baik dan berlaku adil) dengan orang-orang yang tidak membunuh kalian dan tidak mengusir kalian, sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berbuat adil ” QS Al Mumtahanah : 8.
Dan juga makna ayat ini ditegaskan oleh sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
(مَنْ قَتَلَ مُعَاهَدًا لَمْ يَرِحْ رَائِحَةَ الْجَنَّةِ وَإِنَّ رِيحَهَا تُوجَدُ مِنْ مَسِيرَةِ أَرْبَعِينَ عَامًا)
Artinya: ” Barangsiapa yang membunuh orang kafir muahad, maka dia tidak bisa mencium bau surga, dan sesungguhnya surga memiliki bau yang dapat dirasakan sejauh perjalanan 40 tahun ” HR Bukhari No 3166.
Imam Ibnu Hajar Al Asqalani ketika menjelaskan makna muahad dalam hadist diatas mengatakan:
” وَالْمُرَادُ بِهِ مَنْ لَهُ عَهْدٌ مَعَ الْمُسْلِمِينَ سَوَاءٌ كَانَ بِعَقْدِ جِزْيَةٍ أَوْ هُدْنَةٍ مِنْ سُلْطَانٍ أَوْ أَمَانٍ مِنْ مُسْلِمٍ “
Artinya: ” Maknanya adalah seluruh orang kafir yang terikat perjanjian (damai) Bersama kaum muslimin, baik itu dengan membayar jizyah, atau gencatan senjata dari pemimpin negara, atau dengan jaminan keamanan dari seorang muslim “
Jadi, dapat dipahami dari perkataan beliau bahwa orang non-muslim yang berada di negara-negara di dunia ini adalah orang non-muslim yang dilarang dizalimi, serta dilarang pula menghancurkan tempat ibadah mereka karena mereka mendapat jaminan keamanan dari pemimpin mereka, apalagi jika pemimpinnya seorang muslim seperti di Indonesia saat ini.
Ya, memang benar bahwa jihad tholab itu disyariatkan dalam agama Islam oleh jumhur ulama, berdasarkan firman Allah:
﴿قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ﴾
Artinya: ” Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, hari akhir, yang tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya, yang tidak beragama dengan agama yang benar dari orang-orang yang diberikan kitab (Nasrani) sampai mereka membayar jizyah dalam keadaan terhina ” QS At Taubah : 29.
Dan firman Allah yang lain:
﴿فَإِذَا انسَلَخَ الْأَشْهُرُ الْحُرُمُ فَاقْتُلُوا الْمُشْرِكِينَ حَيْثُ وَجَدتُّمُوهُمْ وَخُذُوهُمْ وَاحْصُرُوهُمْ وَاقْعُدُوا لَهُمْ كُلَّ مَرْصَدٍ ۚ فَإِن تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَخَلُّوا سَبِيلَهُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾
Artinya: ” Ketika telah berlalu bulan-bulan yang haram itu, maka perangilah kaum musyrikin (yang melanggar perjanjian) dimanapun kamu menemukan mereka, tawanlah dia, dan kepunglah, serta intailah di tempat-tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat, dan membayar zakat maka lepaskanlah mereka, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ” QS At Taubah : 5.
Imam Al Qurthubi dalam tafsirnya berpendapat bahwa ayat ini statusnya adalah muhkam (bernilai hukum dan tidak dimansukh), dan juga merupakan pendapat Mujahid, Qatadah, dan Abdurrahman bin Zaid. Hal ini dikuatkan juga oleh sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
(” الْخَيْلُ مَعْقُودٌ فِي نَوَاصِيهَا الْخَيْرُ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ: الْأَجْرُ وَالْمَغْنَمُ “)
Artinya: ” Kuda yang ditetapkan kebaikan atasnya hingga hari kiamat adalah: kebaikan (kuda yang digunakan untuk kebaikan) dan ghanimah (kuda yang digunakan untuk mendapatkan ghanimah) ” HR Bukhari No 2852.
Imam Bukhari menggolongkan hadits diatas sebagai hadits yang menunjukkan kewajiban jihad (tholab) hingga hari kiamat, dan menulis sub bab dari hadits tersebut dengan lafaz yang artinya ” (kewajiban) Jihad itu tetap ada bersama pemimpin (yang berkelakuan) baik dan buruk ” yang mana lafaz tersebut merujuk pada hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dan Abu Ya’la secara marfu’ (bersambung kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam) dan mauquf (terhenti periwayatannya ke sahabat), akan tetapi dinilai dhaif oleh Imam Ibnu Hajar Al Asqalani karena Makhul tidak mendengar langsung dari Abu Hurairah.
Para ulama juga banyak yang menuliskan kewajiban jihad (tholab) di buku-bukunya, seperti Imam At Thahawi dalam kitabnya Aqidah Thahawiyah mengatakan:
” الحج والجهاد ماضيان مع أولي الأمر من المسلمين إلى قيام الساعة “
Artinya: ” (kewajiban) Haji dan jihad terus tetap ada Bersama pemimpin kaum muslimin hingga hari kiamat ” .
Dan ulama lain seperti Abdurrahman bin Abi Hatim menukil akidah bapaknya (Abu Hatim Ar Razi) dan Abu Zur’ah Ar Razi yang dinukil oleh Imam Al Lalakai:
” وَنَرَى الصَّلَاةَ وَالْحَجَّ وَالْجِهَادَ مَعَ الْأَئِمَّةِ “
Artinya: ” Dan kami berpendapat (wajibnya) sholat, haji, dan jihad Bersama pemimpin-pemimpin (kaum muslimin) ” .
Dan contoh ulama lain lagi seperti Al Mula Ali Al Qari, beliau mengatakan:
” الْخَصْلَةُ الثَّانِيَةُ اعْتِقَادُ كَوْنِ الْجِهَادِ مَاضِيًا، أَوْ ثَانِيَتُهَا الْجِهَادُ، أَوِ الْجِهَادُ مِنْ أَصْلِ الْإِيمَانِ. وَمَاضٍ…هُوَ مَاضٍ وَنَافِذٌ وَجَارٍ وَمُسْتَمِرٌّ “
Artinya: ” Termasuk bagian dari iman yang kedua ialah meyakini bahwa (kewajiban) jihad merupakan pokok keimanan…dan (kewajiban jihad) akan terus tetap ada (bersama pemimpin kaum muslimin) “.
Terlepas dari perkataan para ulama diatas, jihad tholab yang para ulama dengungkan diatas bukanlah seperti yang dilakukan oleh para teroris yang mengebom gereja dan rumah ibadah lainnya. Jihad yang para ulama dengungkan adalah jihad yang memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah diantaranya adalah harus dipastikan dari jihad tersebut bahwa maslahat (kebaikan) yang didapat lebih besar daripada mafsadat (keburukan) yang ditimbulkan, beliau mengatakan:
” فَمَعْلُومٌ أَنَّ الْأَمْرَ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيَ عَنْ الْمُنْكَرِ وَإِتْمَامَهُ بِالْجِهَادِ هُوَ مِنْ أَعْظَمِ الْمَعْرُوفِ الَّذِي أُمِرْنَا بِهِ…. وَإِذَا كَانَ هُوَ مِنْ أَعْظَمِ الْوَاجِبَاتِ والمستحبات فَالْوَاجِبَاتُ والمستحبات لَا بُدَّ أَنْ تَكُونَ الْمَصْلَحَةُ فِيهَا رَاجِحَةً عَلَى الْمَفْسَدَةِ؛ إذْ بِهَذَا بُعِثَتْ الرُّسُلُ وَنَزَلَتْ الْكُتُبُ وَاَللَّهُ لَا يُحِبُّ الْفَسَادَ؛ بَلْ كُلُّ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ فَهُوَ صَلَاحٌ “
Artinya: ” Telah diketahui dengan jelas bahwa amar ma’ruf nahi munkar yang puncaknya adalah dengan jihad itu adalah salah satu kebaikan yang paling besar yang pernah diperintahkan kepada kita….maka Ketika hal ini (amar ma’ruf nahi munkar yang dipuncaki oleh jihad) adalah kebaikan paling besar dia haruslah lebih besar maslahat yang didapat daripada mafsadatnya, karena mendapatkan maslahat yang besar adalah tujuan diutusnya Rasul-Rasul dan diturunkannya kitab-kitab suci, dan Allah tidak menyukai kerusakan, bahkan setiap yang diperintahkan Allah adalah kebajikan “
Jika kita jujur untuk menimbang perbuatan teroris-teroris itu dengan maslahat mafsadat, maka sama sekali tidak ada maslahat yang didapat, justru mafsadat seperti kematian diri sendiri, kematian warga sipil lainnya yang berada di lokasi kejadian, makin tidak tergugahnya hati manusia untuk memeluk islam, penghinaan terhadap agama Islam yang datang dari pemeluk agama lain, menjadi buronan pemerintah dimana-mana, dan mafsadat lainnya yang akan didapatkan, sehingga tidak sebanding maslahat yang didapat dengan mafsadat yang ditimbulkan.
Dan diantara persyaratan lainnya adalah harus dengan perintah pengumuman jihad dari pemimpin atau izin darinya, Syaikh Wahbah Az Zuhaili mengatakan:
” فالجهاد يكون بالتعليم وتعلم أحكام الإسلام ونشرها بين الناس، وببذل المال، وبالمشاركة في قتال الأعداء إذا أعلن الإمام الجهاد “
Artinya: ” Dan jihad dilakukan dengan cara belajar agama Islam, atau mengajarkannya, atau mengeluarkan uang untuknya, atau dengan ikut menyerang musuh jika pemimpin telah memerintahkan demikian “.
Juga perkataan ulama yang mendengungkan jihad tholab yang sudah penulis sebutkan diatas terdapat lafaz jihad bersama pemimpin, baik itu pemimpin baik atau buruk. Secara ringkas, perbedaan makna jihad dari kedua pihak sangat berbeda bagaikan langit dan bumi. Kesimpulannya kita sebagai warga negara muslim hendaknya berlaku toleran terhadap seluruh kegiatan spiritual warga non muslim selama hal itu tidak membuat kita kekurangan hak atau melanggar aturan setempat.
Kemudian, bagaimana hukumnya jika ada warga muslim membubarkan kegiatan spiritual warga muslim lainnya yang berbeda aliran dan dianggap sesat? Perlu kita ketahui dulu makna sesat, sesat adalah sesuatu yang menyimpang dari kebenaran , suatu faham yang pada dasarnya sudah keluar dari ajaran suatu agama tertentu.
Secara garis besar, MUI telah membuat 10 kriteria yang mana jika salah satunya dilakukan oleh suatu ormas atau organisasi mengatasnamakan Islam, sudah bisa dipastikan bahwa kelompok itu kelompok sesat yang menyimpang dari Islam, kriteria ini disampaikan dalam penutupan rakernas MUI tanggal 9 November 2007 di hotel Sari Pan Pacific. Berikut adalah 10 kriteria tersebut:
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6.
2. Meyakini atau mengikuti Aqidah yang tidak sesuai dengan Al Quran dan Hadits.
3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al Quran.
4. Mengingkari otentisitas atau kebenaran isi Al Quran.
5. Melakukan penafsiran Al Quran yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan Hadits Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai sumber ajaran Islam.
7. Menghina, melecehkan, dan atau merendahkan para Nabi dan Rasul Alaihimussholatu Wassalam.
8. Mengingkari Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam sebagai Nabi terakhir.
9. Mengubah, menambah, dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti sholat wajib tidak 5 waktu, pergi haji tidak ke baitullah.
10. Mengkafirkan sesama muslim tanpa dalil syar’i seperti mengkafirkan muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Namun, seperti yang kita ketahui, MUI dalam ketatanegaraan bukan lembaga pemerintahan ataupun lembaga dalam konsep trias politika, sehingga terlihat sekilas bahwa statement 10 kriteria ini tidak bisa dijadikan rujukan hukum. Tetapi sudah menjadi pengetahuan umum bahwa fatwa yang keluar dari MUI dapat dijadikan rujukan hukum dalam bidang keagamaan, bahkan agama Islam yang dianut mayoritas masyarakat dapat menjadi sumber hukum materiil.
Konstitusi Indonesia secara khusus juga sudah mengatur dan membatasi kebebasan beragama, dalam UU PNPS No 1 tahun 1965 pasal 1 mengatakan “Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan, mengusahakan dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran itu”. Dalam pasal 2 disebutkan “(1)Barangsiapa yang melanggar ketentuan tersebut dalam Pasal 1 diberi perintah dan peringatan keras untuk menghentikan kegiatannya itu didalam surat keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri/Jaksa agung, dan Menteri Dalam Negeri. (2) Apabila pelanggaran itu dalam ayat 1 dilakukan oleh organisasi atau sesuatu aliran kepercayaan, maka Presiden Republik Indonesia dapat membubarkan organisasi itu dan menyatakan organisasi atau aliran itu sebagai aliran/organisasi terlarang, satu dan lain Presiden mendapat pertimbangan dari Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri”. Dan pada pasal 4 yang menempatkan pasal 156a KUHP sebagai pijakan hukum, pelaku pembuat ajaran kesesatan dapat dipidana dengan penjara selama 5 tahun.
Maka dengan penjelasan diatas, boleh saja bagi kita untuk melaporkan ajaran sesat dan membubarkannya dengan keputusan pihak yang berwenang.
Dan secara hukum Islam, perbuatan sesat wajib diingkari dan diperingatkan, karena Rasul sendiri mengancam perbuatan ini tidak akan diterima, beliau shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:
(” مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ “)
Artinya: ” Siapa saja yang membuat perkara baru (dalam agama) yang bukan dari agama tersebut, maka perkara tersebut tertolak ” HR Bukhari No 2697.
Bahkan dalam Al Quran, Allah mencap perbuatan sesat sebagai perbuatan paling rugi, Allah berfirman:
﴿قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِالْأَخْسَرِينَ أَعْمَالًا الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا﴾
Artinya: ” Katakanlah apakah kamu mau Kami beritahukan amal yang paling merugi? Yaitu orang-orang yang tersesat dalam amalannya (melenceng dari kebenaran) di dunia tapi mereka menganggap bahwa mereka telah memperbagus amalannya ” QS Al Kahfi : 104.
Dalam ayat lain, Allah mengancam pelaku pembuat ajaran sesat dengan azab yang pedih:
﴿أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُم مِّنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَن بِهِ اللَّهُ ۚ وَلَوْلَا كَلِمَةُ الْفَصْلِ لَقُضِيَ بَيْنَهُمْ ۗ وَإِنَّ الظَّالِمِينَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴾
Artinya: ” Apakah mereka memiliki sekutu-sekutu yang membuat untuk mereka syariat agama (amalan-amalan agama) yang tidak diizinkan Allah? Kalaulah bukan karena keputusan-Ku tentu mereka sudah binasa, sesungguhnya orang-orang yang zalim (pembuat amalan-amalan baru yang sesat) mendapatkan azab yang pedih ” QS Asy Syuuro : 21.
Bersambung ke part 2