Tidaklah Allah Pernah Meninggalkan Hamba-Nya

Penulis: Annisa Yuni Thorika

Satu hari di Ramadhan kemarin, lepas Dzuhur di kamar, aku dan dua temanku duduk sebentar, satu dari Filipina, yang satunya Indonesia. Biasanya kami akan duduk melingkar lepas teraweh berjamaah di musholla, itu agenda rutin yang dipioneri seorang teman tahun ini. Tapi siang itu tambahan saja, mumpung longgar.

“Hari ini kita bahas hikmah surat Adh Dhuha, ya! Surat ini benar-benar pelipur, terutama untuk orang-orang yang sedang terasa sesak dadanya.”

Mari kita buka Al Qur’an, mari kita sama-sama tadabburi beberapa ayat dari surat yang super powerfull ini. Dan sebagai disclaimer, yang ditulis di sini bukanlah tafsir, melainkan hanya penyimpulan hikmah. Semoga baiknya membawa manfaat, dan kurangnya menjadi koreksi.

ﵟمَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰﵞ [الضحى: 3]

“Rabb-mu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.” [Q.S. Adh-Dhuha: 3]

Dalam interaksi atau hubungan antar manusia, terkadang kita dapati perkataan yang tidak sesuai, atau sikap yang membuat sedih dan kecewa. Itu wajar. Karena kita pun juga manusia; yang tak luput dari kesalahan serupa.

Keadaan yang harus kita hadapi tidak selalu sesuai dengan persangkaan kita. Tidak jarang kita harus melalui kondisi di luar ekspektasi dan rencana yang sudah disusun rapih. Sebagai seorang Muslim yang mengimani takdir, kita yakin bahwa apapun yang Allah tetapkan adalah pasti yang terbaik. Tidak ada kebetulan, tidak ada kesia-siaan.

Ketika membaca ayat ketiga dari surat ini, maka jika diresapi, kita temukan pelipur ketika sedang berduka, merasa tertinggal, atau tak dipedulikan orang-orang di sekitar. Pun jika keadaan tersebut sudah lewat, kita makin yakin; bahwa dari yang sudah-sudah, Allah selalu membersamai.

Allah, Rabb kita, adalah murabbi sekalian alam; yang mengatur detail tiap urusan makhluk-Nya, tak tertinggal walau sekecil apapun dari apa yang diatur-Nya. Sebutir debu yang terbang, sehelai daun yang jatuh, seekor semut yang pulang ke sarangnya; semua ada pada ilmunya Allah, semua tidak berjalan melainkan atas kehendak-Nya.

Maka (مَا وَدَّعَكَ رَبُّكَ وَمَا قَلَىٰ) adalah penegasan, bahwasannya orang lain bisa saja meninggalkanmu, manusia bisa saja tidak menyukaimu; tapi Allah tidak akan pernah. Allah senantiasa ada untuk memperhatikanmu, memenuhi yang jadi kebutuhanmu, mengabulkan apa-apa yang jadi permohonanmu. Bahkan Dia tidak membencimu, meski kamu mendatangi-Nya dengan segunung dosa, lalu bersimpuh memohon ampun. Dia tidak membencimu, meski kamu terus meminta sedang kamu seorang pendosa dan bukan ahli ibadah.

عن أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال النبي ﷺ: (يقول الله تعالى: ‌أنا ‌عند ‌ظن ‌عبدي ‌بي، وأنا معه إذا ذكرني، فإن ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي، وإن ذكرني في ملإ ذكرته في ملإ خير منهم، وإن تقرب إلي شبرا تقربت إليه ذراعا، وإن تقرب إلي ذراعا تقربت إليه باعا، وإن أتاني يمشي أتيته هرولة).

Dari Abu Hurairah –radhiyallahu ‘anhu-, ia berkata bahwa Nabi ﷺ bersabda, “Allah ﷻ berfirman: Aku sesuai persangkaan hamba-Ku. Aku bersamanya ketika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku saat bersendirian, Aku akan mengingatnya dalam diri-Ku. Jika ia mengingat-Ku di suatu kumpulan, Aku akan mengingatnya di kumpulan yang lebih baik daripada pada itu (kumpulan malaikat). Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia datang kepada-Ku dengan berjalan (biasa), maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari no. 6970 dan Muslim no. 2675).

Jadi, cinta mana yang lebih besar daripada cintanya Allah kepada hamba-Nya? Rahmat Allah selalu lebih luas daripada murka-Nya. Dan rahmat yang kita saksikan sejak penciptaan bumi sampai hari akhir nanti, hanyalah satu dari seratus rahmat yang disimpan untuk hamba-hamba-Nya di akhirat kelak.

ﵟوَلَلۡأٓخِرَةُ خَيۡرٞ لَّكَ مِنَ ٱلۡأُولَىٰ ﵞ [الضحى: 4]

“Dan sesungguhnya hari kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang sekarang (permulaan).” [Q.S. Adh-Dhuha: 4]

Kemudian pada ayat keempat, ia dapat dimaknai sebagai motivasi bagi kita untuk menjadi hamba yang optimis, meyakini bahwa yang akan datang (masa depan) pasti lebih baik dari yang sedang kita lalui. Meski saat ini sulit, kita yakin kesulitannya akan lewat, dan yang tersisa adalah kesuksesan.

Coba diingat, bukankah kondisi kita hari ini adalah lebih baik daripada kondisi kita di masa lalu? Sama halnya dengan kondisi Madinah bagi Rasulullah ﷺ dan para sahabat beliau, adalah lebih baik dari kondisi mereka ketika di Makkah di awal-awal masa kenabian. Permusuhan, penyiksaan, dan kesulitan tergantikan oleh persaudaraan, pertumbuhan pesat, dan kemuliaan.

ﵟوَلَسَوۡفَ يُعۡطِيكَ رَبُّكَ فَتَرۡضَىٰٓ ﵞ [الضحى: 5]

“Dan kelak Rabb-mu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas.” [Q.S. Adh-Dhuha: 5]

Manusia itu tak lebih hanya dicipta sebagai budak bagi Tuan Yang Satu. Kita dicipta tidak lain hanya untuk mengibadahi Allah semata. Dan penghambaan ini adalah justru merupakan kemerdekaan yang hakiki. Bagaimana tidak? Ketika menghulukan taat hanya kepada Dzat Yang Maha Besar, maka kita terbebas dari perbudakan oleh perkara yang receh. Kita merdeka dari diperbudak harta, kita merdeka dari diperbudak manusia (yang hakikatnya sama-sama budak)!

Maka karena kita ini hamba, tugas kita adalah taat kepada apa yang kita diperintahkan atasnya, tugas kita menjauh dari apa-apa yang dilarang. Dan ketika kita diperintahkan ikhtiar, berusaha, bekerja, belajar; ya tugas kita adalah memaksimalkan potensi yang dititipkan kepada kita. Totalitas pada apa yang bisa kita kerjakan! Ketika kita dilarang putus asa, mengeluh, mengumpat; ya tugas kita menghindar dari sifat dan sikap semacam itu.

Ayat ini mengandung janji Allah, Rabb Yang Maha Benar (الحق). Jika Allah telah mengabarkan di dalam Al Qur’an, bahwa kelak Dia pasti memberikan kita karunia sehingga kita menjadi puas, maka setelahnya tugas kita tinggal mengimani. Lelah yang terasa sangat berat, kelak akan terbayar oleh karunia Allah yang memuaskan hati. Dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah?

ﵟوَمَنۡ أَوۡفَىٰ بِعَهۡدِهِۦ مِنَ ٱللَّهِۚﵞ [التوبة: 111]

Allah juga Rabb Yang Maha Pembalas Kebaikan (الشكور), Dia menerima amalan kita yang sedikit serta tidak menyia-nyiakannya walau sekecil apapun. Maka, mari bertahan dan percaya!

ﵟوَأَمَّا بِنِعۡمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثۡﵞ [الضحى: 11]

“Dan terhadap nikmat Rabb-mu, maka hendaklah kamu siarkan.” [Q.S. Adh-Dhuha: 11]

Akhirnya, sebagai penutup surat sekaligus tulisan ini, kita diperintahkan untuk menyebut-nyebut nikmat Allah sebagai bentuk syukur kepada Rabb Yang Maha Pemberi Kebaikan (البر). Setelah semua penjagaan-Nya, karunia-Nya, terutama taufik berupa iman dan Islam, ungkapkanlah sebagai syiar kesyukuran kita!

Tidaklah menyebut-nyebut nikmat di sini bermakna menyombong atau berbangga di hadapan manusia, namun sebagaimana kita dicipta sepaket dengan fitrah; hati juga memiliki tabiat, ia akan mencintai siapa yang berbuat baik padanya. Maka, sebutlah nikmat Allah, dalam rangka kecintaan kita kepada-Nya.

Siarkanlah, “Bahwa Dia mendapatiku sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungiku.”

Siarkanlah, “Bahwa Dia mendapatiku sebagai seorang yang kebingungan, lalu Dia memberiku petunjuk.”

Siarkanlah, “Bahwa Dia mendapatiku sebagai seorang yang faqir dan serba berkekurangan, lalu Dia mencukupiku dan menjadikanku seorang yang kaya.”

Siarkanlah, “Bahwa Dia mendapatiku terpuruk, dan Dia senantiasa membersamaiku.”

Allah, Rabb kita, tidak pernah meninggalkan kita, barang sekejap mata.

‌”يا ‌حي ‌يا ‌قيوم ‌برحمتك ‌أستغيث، أصلح لي شأني كله، ولا تكلني إلى نفسي طرفة عين.”

“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Maha Berdiri Sendiri (tidak butuh segala sesuatu), yang dengan rahmat-Mu aku memohon pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan janganlah Engkau serahkan kepadaku walau hanya sekejap mata (tanpa mendapat pertolongan dari-Mu).” (HR. Al-Hakim).

Maka, pada perjalanan menempuh kerahasiaan takdir, menyimpuhlah, mintalah selalu pertolongan Allah! Semoga Allah mudahkan, Allah tunjukki.