Penulis: Olivia Noufal Layla
Dalam dunia keilmuan Islam, hubungan antara filsafat dan agama sering menjadi topik perbincangan yang hangat. Apakah keduanya bisa sejalan? Ataukah keduanya saling menegasikan satu sama lain? Pertanyaan-pertanyaan ini mengundang kita untuk menelaah lebih dalam: apakah filsafat bertentangan dengan ajaran Islam, atau justru menjadi sarana yang mendukung pemahaman terhadap wahyu?
1. Pengertian Filsafat
Secara etimologis, kata filsafat berasal dari bahasa Yunani: philosophia, gabungan dari philein (mencintai) dan sophia (kebijaksanaan). Dengan demikian, philosophia berarti “cinta akan kebijaksanaan.”
Dalam bahasa Arab, istilah filsafat diserap menjadi falsafah, yang kerap dipadankan dengan hikmah (kebijaksanaan). Al-Qur’an mengangkat pentingnya hikmah dalam dakwah, sebagaimana dalam firman Allah:
ادْعُ إِلَٰى سَبِيلِ رَ’بِكَ بِالْحِكْمَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah…”
(QS. An-Nahl: 125)
Dalam tafsir, makna hikmah di sini adalah perkataan yang benar dan mampu membedakan antara yang hak dan batil. Dengan demikian, filsafat sebagai kebijaksanaan berpikir sejatinya mendukung misi kebenaran yang dibawa oleh wahyu.
Secara praktis, filsafat bisa diartikan sebagai dunia pemikiran, yakni cara manusia mengolah nalar untuk memahami hakikat segala sesuatu. Namun tidak setiap orang yang berpikir otomatis sedang berfilsafat. Sebab berfilsafat berarti berpikir secara mendalam, sistematis, dan kritis demi menemukan kebenaran yang sejati.
2. Pengertian Islam
Islam secara praktis adalah agama yang membawa keselamatan, dengan tunduk dan patuh kepada Allah SWT. Dalam Al-Qur’an, wahyu pertama yang turun memberikan pesan penting:
اقْرَْأ بِاسْمِ رَ’بِكَ الَّذِي خَلَقَ
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.”
(QS. Al-‘Alaq: 1)
Pertanyaannya, mengapa Allah memulai risalah Islam dengan perintah “Iqra’” (bacalah)? Kata ini tidak hanya merujuk pada aktivitas membaca teks tertulis, tetapi juga menelaah alam, masyarakat, dan diri sendiri. Lafadz ini merujuk kepada bacaan yang tidak tertulis namun kaya makna. Inilah yang membedakan iqra’ dari kata lain seperti utlu’ yang lebih spesifik pada pembacaan ayat suci.
Aktivitas menelaah mengandaikan penggunaan akal yang jernih. Maka dari itu, titik temu antara Islam dan filsafat muncul di sini: keduanya menghargai pencarian makna melalui proses berpikir mendalam dan bertanggung jawab.
3. Sejarah Pertemuan Filsafat dan Islam
Filsafat lahir di Yunani sekitar abad ke-6 SM. Tokoh seperti Thales dari Miletus memulai pendekatan rasional terhadap alam, menggantikan penjelasan mitologis. Era ini dikenal sebagai masa Pra-Socrates, diikuti oleh filsuf besar seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles.
Saat kekuasaan Romawi melemah dan Eropa memasuki Abad Kegelapan, dunia Islam justru mengalami masa keemasan keilmuan. Bangsa Arab berhasil mewarisi dan melestarikan khazanah filsafat Yunani, terutama melalui upaya penerjemahan besar-besaran di era kekhalifahan Abbasiyah.
Tokoh-tokoh Muslim seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina (Avicenna), dan Ibnu Rusyd (Averroes) mengintegrasikan pemikiran filsafat dengan nilai-nilai Islam. Mereka tidak sekadar menyalin, melainkan mengembangkan gagasan baru dalam bidang logika, metafisika, etika, hingga kedokteran dan sains.
Namun, tidak semua pemikir Muslim setuju dengan pendekatan filsafat. Al-Ghazali, dalam karyanya Tahafut al-Falasifah, mengkritik sebagian argumen filosofis karena dianggap melebihi batas akal dalam perkara metafisik. Perdebatan ini memunculkan dialektika panjang antara kalangan filsuf dan teolog dalam Islam, menambah dinamika yang memperkaya tradisi intelektual umat muslim hingga hari ini.
4. Objek Kajian Filsafat Yunani
Secara umum, filsafat Yunani mengkaji tiga ranah utama:
- Cosmosentris: Kajian tentang alam semesta, mencakup asal-usul, ruang, waktu, gerak, materi, gaya, bilangan, dan keteraturan alam.
- Theosentris: Kajian tentang Tuhan, meliputi keberadaan, kekuasaan, dan sifat-sifat ketuhanan.
- Anthroposentris: Kajian tentang manusia, termasuk asal-usul, moralitas, peran dalam dunia, serta hubungan dengan Tuhan.
Ketiga aspek ini menunjukkan bahwa filsafat tidak semata soal logika kering, tapi juga mencakup eksistensi dan nilai-nilai. Dan semua ini sangat dekat dengan ajaran Islam.
5. Filsafat Islam: Sebuah Integrasi Nalar dan Wahyu
Filsafat Islam merupakan cabang pemikiran filsafat yang dibentuk dan dikembangkan dalam konteks keislaman. Ia berpikir secara sistematis, mendalam, dan universal, namun tetap berpijak pada wahyu sebagai sumber kebenaran tertinggi.
Filsuf Muslim tidak memisahkan antara nalar dan iman. Justru, mereka meyakini bahwa akal yang sehat akan menuntun manusia kepada Allah, sebagaimana wahyu mengarahkan manusia untuk menggunakan akalnya dengan benar.
Filsafat dalam Islam bukanlah ancaman, melainkan alat. Ia adalah jembatan yang menghubungkan pencarian rasional manusia dengan petunjuk ilahi. Selama filsafat dijalankan dengan adab dan dalam kerangka tauhid, maka ia akan memperkuat, bukan menyingkirkan, peran wahyu.
Penutup
Islam dan filsafat memiliki tujuan yang sama: mencari kebenaran. Dalam Islam, wahyu adalah cahaya utama, sementara akal adalah pelita yang membantu menerangi jalan. Keduanya bisa bersinergi untuk membentuk manusia yang berpikir jernih, beriman kuat, dan bertindak bijaksana.