Bulan Ramadan, Bulan Ampunan?

Penulis: Majid Aulya Al Miqdad

Bertahun-tahun kita melewati bulan Ramadan, sering dan banyak ditemukan motivasi dari para kyai, dai, bahkan khotib Jumat untuk memperbanyak amal serta meminta ampunan (taubat) kepada Allah karena dikatakan bulan Ramadan adalah bulan amal sholih, bulan Al quran, bulan ampunan, dst dengan menyebutkan banyak hadits dan ayat Alquran sebagai penguat atas klaim tersebut. Namun bagaimana sebenarnya konsep yang lebih mendalam terkait taubat dalam pandangan Islam? Ini yang akan penulis coba bahas dalam artikel kali ini secara lebih mendalam tapi tetap bisa dipahami oleh semua golongan dan umur dalam beberapa poin berikut:

  1. Apakah semua dosa itu sama?

Jumhur ulama berpandangan bahwa dosa itu memiliki tingkatan[1], bahwasanya dosa itu ada dosa besar dan ada dosa kecil, sebagaimana yang firman Allah dalam Alquran yang berbunyi:

﴿ إِن تَجْتَنِبُوا كَبَائِرَ مَا تُنْهَوْنَ عَنْهُ نُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَنُدْخِلْكُم مُّدْخَلًا كَرِيمًا

Artinya: “Jika kalian menjauhi perkara besar dari yang telah Kami haramkan, akan Kami ampuni kesalahan kalian serta Kami masukkan kedalam sebaik-baik tempat (surga)”[2]

Firman Allah (perkara besar dari yang telah Kami haramkan) bermakna dengan jelas adanya dosa besar, dan menunjukkan adanya dosa kecil[3], tetapi mungkin benak kita bertanya-tanya, apakah layak ada dosa yang dilakukan makhluk kepada sang Pencipta makhluk, yaitu Allah yang dijuluki sebagai dosa kecil? Seolah-olah ini sebagai bentuk menganggap remeh perbuatan dosa yang dilakukan makhluk kepada Tuhannya sekaligus memiliki makna merendahkan kebesaran-Nya, hal inilah yang dipikirkan juga oleh Imam Abu Ishaq Al Isfiraini, Imam Al Baqillani, dan Al Qadi Abdul Wahhab[4] sehingga mereka menolak penamaan dosa dengan nama dosa besar dan kecil, bahkan Al Qadi Abdul Wahhab mengatakan bahwa semua perbuatan yang menentang perintah Allah dan melanggar larangan-Nya adalah dosa besar.

Tapi kalau kita menelisik perbedaan pandangan diantara para ulama tentang hal ini, kita temukan bahwa perbedaan pandangan ini hanya terjadi dalam bahasan etimologi/penamaan saja, karena jumhur ulama ketika mengelompokkan dan mengatakan suatu dosa itu dosa besar itu hanya merupakan usaha untuk mengelompokkan dosa yang disebut sebagai kabaairo maa tunhauna ‘anhu dalam ayat Al Quran surat diatas[5]  dan bukan untuk meremehkan dosa yang disebut dosa kecil seperti yang dipikirkan Imam Abu Ishaq Al Isfiraini dan yang lainnya yang telah penulis sebutkan diatas, sebagaimana Imam Ibnul Qoyyim pun mengangguk bahwasannya ada perbedaan tingkatan dosa secara kontekstual ayat Al Quran[6], dan merupakan hal yang sudah masyhur secara akal bahwa seluruh manusia juga akan menyadari dan mengakui bahwa melanggar larangan raja itu sesuatu yang buruk apalagi larangan Sang Pencipta, maka itu adalah seburuk-buruknya perbuatan.

Kemudian pembahasan yang kedua yang perlu dicatut dalam poin ini adalah pengetahuan tentang cara membedakan antara dosa besar dan dosa kecil, karena tentu setelah membaca penjelasan pembagian dosa diatas, kita mempunyai pertanyaan yaitu apa yang membedakan antara dosa besar dosa kecil? Imam Ibnu Hajar Al Haitami menceritakan ada 8 pendapat ulama yang berbeda dalam penentuan perbedaan dosa besar dan kecil[7]. Namun setelah menyebutkan semua pendapat, beliau berkata bahwa  semua pendapat bertujuan untuk berusaha memasukkan dan menggolongkan dosa-dosa kedalam dosa besar sesuai kadar pengetahuan mereka terhadap dalil-dalil dari Alquran dan Hadits, sedangkan hadits-hadits dan ayat Alquran yang menerangkan tentang dosa itu banyak dan berbeda-beda ungkapan yang digunakan ketika menyebutkan dosa (kadang menggunakan julukan fasik dalam menyebut beberapa dosa, kadang dibarengi dengan laknat, kadang dibarengi dengan ancaman siksa akhirat, dll), sehingga tidak ada satu pendapat pun menurut beliau yang bebas dari kritik atau kekurangan, namun pendapat yang dipilih Ibnu Abbas[8], Imam Al Mawardi, Imam Ibnu Sholah adalah bahwa dosa besar itu dosa yang disebutkan dalam nash Alquran atau Hadits berbarengan dengan laknat setelahnya, atau dosa yang diancam neraka, dan yang diancam hudud (penyebutan hukum spesifik dari nas ayat Alquran atau Hadits untuk beberapa dosa seperti potong tangan untuk mencuri, dll), dan dosa yang dibarengi penyebutan fasik untuk pelakunya[9].

Tapi walaupun begitu penulis memandang perlunya kita untuk berhati-hati dalam memilih pendapat yang kita pilih untuk diri kita dalam masalah ini, sebagaimana yang Imam Ibnu Hajar Al Haitami katakan di awal tadi bahwasannya tidak ada satupun pendapat yang dapat memasukkan keseluruhan dosa-dosa besar dalam satu definisi, sehingga kita perlu berhati-hati jangan sampai hanya berpatokan pada definisi dosa besar dari Ibnu Abbas dan menganggap enteng dosa yang tidak masuk kedalam definisi tersebut, yang membuat kita terjatuh dalam dosa besar (menurut definisi dari ulama lain) tanpa kita sadari.

  • Apakah cara menggugurkan dosa kecil dan dosa besar itu sama?

Terdapat perbedaan pendapat dalam hal ini, Jumhur ulama termasuk Imam Ibnu Hajar Al Haitami, Imam Ibnu Abdil Barr, Imam Nawawi[10], Al Qadi ‘Iyadh, dan Imam Ibnul Arabi[11] mengatakan bahwa cara menggugurkan dosa kecil berbeda dengan dosa besar, dan dosa besar mewajibkan pelakunya untuk bertaubat darinya, kalaulah tidak terdapat perbedaan diantara keduanya maka tidak akan wajib taubat dari dosa besar, sedangkan berdasarkan ijma’ Allah mewajibkan pelaku dosa besar untuk bertaubat[12], sedangkan dosa kecil bisa dihapuskan dengan amal-amal salih seperti sholat, istighfar, wudhu, haji, dan amal salih lainnya seperti dalam hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi wasallam bersabda:

(” وأتبع السيئة الحسنة تمحها “)[13]

         Artinya: ” Iringilah perbuatan dosa dengan amal shalih niscaya ama shalih itu akan menghapus dosa tersebut “

 berbeda dengan Al Qadi Al Baidhowi  yang mengatakan bahwa amal shalih dapat menghapus dosa besar yang belum tersebar di khalayak ramai dengan dalil bahwa perbuatan dosa yang dihapus oleh amal shalih di hadits yang disebutkan diatas itu konteksnya umum mencakup dosa besar tidak hanya dosa kecil[14], namun jumhur ulama membantah dengan hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam berikut:

(” الصلوات الخمس. والجمعة إلى الجمعة. ورمضان إلى رمضان. مكفرات ما بينهن. إذا اجتنب الكبائر “)[15]

         Artinya: ” Sholat wajib lima waktu, antara jumat dengan jumat berikutnya, antara ramadan dengan ramadan berikutnya adalah amalan-amalan penghapus dosa selang antara dua amalan itu, selama seseorang menjauhi dosa-dosa besar “

Di hadits ini jelas dikatakan bahwa menjauhi dosa besar adalah syarat diampuninya dosa kecil dengan amal shalih, kalau tidak dijauhi maka tidak mendapat ampunan untuk dosa kecil sekaligus dosa besarnya juga[16].

  • Cara Bertaubat

Setelah kita mengetahui bahwa dosa besar hanya dapat digugurkan dengan taubat, maka para ulama mengatakan bahwa taubat mempunyai 3 syarat yang Dimana 3 syarat ini harus terkumpul dalam satu waktu saat bertaubat[17]:

  1. Penyesalan atas dosa yang telah dilakukan, menjauhi perbuatan itu serta sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepada dosa tersebut.
  2. Berlepas diri dari dosa tersebut dan tidak melanjutkan dosa tersebut (jika perbuatan dosa tersebut sedang berlangsung) serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
  3. Mengakui perbuatan dosa tersebut, mengakui kalah dengan hawa nafsu, dan merendahkan diri saat taubat.
  4. Imam Al Khatib Asy Syarbini menambahkan satu syarat tambahan yang ditetapkan para ulama yaitu jika dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak manusia maka wajib mengembalikan hak tersebut kepada manusia yang memilikinya[18].

Kemudian, Imam Nawawi dan Imam Al Khatib Asy Syarbini menyebutkan bahwa dosa yang berkaitan dengan hak Allah dan manusia lain dalam harta (seperti tidak membayar zakat, utang kaffarat, mencuri, begal, merampok, dll) diselesaikan dengan cara membayar zakat dan kaffaratnya, atau mengembalikan harta yang dicuri, atau jika harta korban sudah lenyap maka wajib membayar ganti yang setara dengan harta yang lenyap tersebut atau juga dengan meminta keridhoan pemilik harta. Dan jika korban sudah meninggal sebelum sempat pelaku membayar ganti rugi maka ganti rugi diserahkan ke ahli waris, dan jika tidak ada ahli waris maka ganti rugi disedekahkan ke fakir miskin dengan niat membayar kerugian[19]. Bahkan taubat yang dilakukan tidak akan sah jika tidak mengembalikan hak-hak harta tersebut kepada pemiliknya[20].

Imam An Nawawi juga menyebutkan jika dosa yang dilakukan memiliki hudud (zina, minum khamr, dll) dalam syariat dan dosa tersebut belum tersebar di masyarakat, maka dia wajib bertaubat dan boleh menyerahkan diri kepada pihak berwenang lalu meminta untuk diadili, tapi lebih baik baginya untuk merahasiakannya dan meninggalkannya. Namun jika dosa yang dilakukan sudah tersebar di kalangan masyarakat maka tidak boleh baginya merahasiakannya dan taubat yang sudah dilakukan tidak menghalangi seseorang untuk dijatuhi hukuman hudud oleh pemimpin/pihak yang berwenang[21].

Dan khusus untuk dosa-dosa yang bersumber dari perkataan seperti qadzf (menuduh orang lain berzina) wajib bagi pelakunya untuk mengatakan bahwa tuduhannya atau apa yang dia katakana sebelumnya itu tidak benar dan dia telah bertaubat dari tuduhan itu. Sedangkan ghibah (membicarakan keburukan orang lain) sang pelaku wajib bertaubat tapi tidak wajib mendatangi pihak yang dighibahi lalu meminta kerelaannya jika korban tidak mengetahui ghibahan tersebut, jika korban tahu maka wajib mendatanginya dan meminta kerelaannya menurut jumhur ulama[22]. Berdasarkan hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

(” مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ “)[23]

Artinya: ” barangsiapa diantara kalian memiliki kezaliman terhadap harga diri saudaranya, maka wajib untuk dimintai kerelaannya sebelum datang hari dimana dirham dan dinar tidak berguna “.

Kesimpulan

        Dapat kita tulis kesimpulan dalam beberapa poin berikut:

  1. Dosa dalam syariat Islam terbagi menjadi dosa besar dan dosa kecil.
  2. Dosa besar ialah dosa yang dibarengi setelahnya penyebutan laknat, fasik untuk pelakunya dan dosa yang mewajibkan pelakunya terkena hudud, serta dosa yang diancam pelakunya dengan adzab atau neraka.
  3. Bahwasannya seluruh pendapat yang berbeda dari para ulama yang menerangkan definisi dosa besar tidak ada yang benar-benar memasukkan seluruh dosa besar kedalam definisi tersebut sehingga wajib bagi kita untuk berhati-hati dan menjauhi semua dosa agar tidak terjatuh dalam dosa besar menurut definisi ulama yang lain.
  4. Cara menggugurkan dosa kecil selain dengan taubat, bisa dengan melakukan amal shalih seperti sholat wajib lima waktu, sholat sunnah, wudhu, haji, istighfar selepas berbuat dosa, membaca Alquran, dan amal shalih lainnya dengan syarat menjauhi dosa besar.
  5. Cara menggugurkan dosa besar hanya dengan taubat dan tidak bisa digugurkan dengan amal shalih.
  6. Ada 4 syarat diterimanya taubat:
  7. Penyesalan atas dosa yang telah dilakukan, menjauhi perbuatan itu serta sarana-sarana yang dapat mengantarkan kepada dosa tersebut.
  8. Berlepas diri dari dosa tersebut dan tidak melanjutkan dosa tersebut (jika perbuatan dosa tersebut sedang berlangsung) serta bertekad untuk tidak mengulanginya lagi.
  9. Mengakui perbuatan dosa tersebut, mengakui kalah dengan hawa nafsu, dan merendahkan diri saat taubat.
  10. jika dosa yang dilakukan berkaitan dengan hak manusia maka wajib mengembalikan hak tersebut kepada manusia yang memilikinya.
  11. Wajib membayar hak Allah yang tertunda dan mengembalikan hak manusia kepada pemiliknya, jika pemilik haknya telah meninggal maka diserahkan ke ahli warisnya, jika tidak mempunyai ahli waris maka disedekahkan kepada fakir miskin dengan niat mengembalikan hak.
  12. Dosa-dosa yang bersumber dari perkataan seperti qadzf wajib bertaubat dengan memenuhi 4 syarat taubat diatas dan mengatakan bahwa perkataan sebelumnya itu tidak benar.
  13. Dosa ghibah wajib bagi pelakunya untuk bertaubat dengan memenuhi 4 syarat taubat diatas dan jika ghibahannya tidak diketahui korban maka tidak wajib untuk meminta kerelaannya, jika diketahui maka wajib mendatanginya dan meminta kerelaannya.

[1] Lihat: Al ‘Asqalani, Ahmad bin Ali, Fathul Bari Bisyarhi Shohihil Bukhori, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi dan Muhibuddin Khotib, Al Maktabah As Salafiyyah, Mesir, cet. 1, 1380 H, 10/479.

[2] Surat An Nisa ayat 31.

[3] Lihat: Al Qurtubi, Muhammad bin Ahmad Abu Abdillah, Al Jami’ Li Ahkamil Quran, Tahqiq: Ahmad Al Barduni dan Ibrahim Athfisy, 1964, cet. 1, Dar Kutub Mishriyyah Kairo, 5/158.

[4] Lihat nukilan pendapat mereka dalam: Al Haitami, Syihabuddin Ahmad bin Muhammad, Az Zawajir ‘An Iqtirofil Kabair, 1987, cet. 1, Darul Fikr, 1/7.

[5] Idem, 1/8.

[6] Lihat: Ibnul Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar, Madarijus Salikin Baina Manazili Iyyakana’budu Wa Iyyakanasta’in, tahqiq: Muhammad Al Baghdadi, 1996 M, cet. 3, Darul Kutubil Arabi, Beirut, 1/321.

[7] Az Zawajir, 1/8-11.

[8] Lihat: At Thabari, Muhammad bin Jarir, Jami’ul Bayan ‘An Ta’wili Ayil Quran, tahqiq: Dr. Abdullah Hasan At Turki, 2001 M, cet. 1, Dar Hajr, Mesir, 6/552.

[9] Az Zawajir, 1/13.

[10] An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Al Minhaj Syarhu Shohih Muslim bin Hajjaj, 1396 H, cet. 2, Dar Ihyaut Turats, Beirut, 3/112.

[11] Lihat nukilan pendapatnya dalam: Asy Syarbini, Muhammad bin Ahmad, Al Khisolul Mukaffirat Lidz Dzunub, tahqiq: Husamuddin bin Musa, 2002 M, cet. 1, Palestina, hal. 39.

[12] Lihat: Ibnu Abdil Barr, Yusuf bin Umar, At Tamhid Lima Fil Muwatto Minal Ma’ani Wal Asanid, tahqiq: Mustofa bin Ahmad, 1387 H, Kementrian Wakaf dan Urusan Keislaman Maroko, 4/44. Dan lihat: Al Khisolul Mukaffirat, hal. 43.

[13] HR. At Tirmidzi dalam Sunan At Tirmidzi, no. 1987, 4/355. Dan Hadits ini juga disahihkan oleh Imam At Tirmidzi.

[14] Lihat nukilan perkataan beliau di: Al Munawi, Muhammad bin Tajul Arifin, Faidhul Qodir Syarhul Jami’ish Shaghir, 1356 H, cet. 1, Al Maktabah At Tijariyah Al Kubro, Mesir, 1/406

[15] HR. Muslim dalam Shohih Muslim, no. 233, 1/209.

[16] Lihat tafsiran Ibnu Athiyyah dan jumhur dalam: Ibnu Hajar Al Haitami, Ahmad bin Muhammad, Al Fathul Mubin Bisyarhil Arba’in, 2008 M, cet. 1, Darul Minhaj, Makkah, hal. 356.

[17] Lihat: Madarijus Salikin, 1/200.

[18] Al Khisolul Mukaffirah, hal. 20.

[19] Lihat: An Nawawi, Yahya bin Syaraf, Raudhatut Thalibin Wa Umdatul Muftin, tahqiq: kelompok tahqiq dan tashih Maktab Islami, 1991 H, Al Maktabul Islami, Damaskus, 11/246.  

[20] Lihat: An Nafrawi, Ahmad bin Ghanim, Al Fawakihud Dawani Ala Risalati Ibni Abi Zaid Al Qairawani, 1995 M, Darul Fikr, 1/317.

[21] Raudhatut Thalibin, 11/246.

[22] Lihat: Al Bahuti, Mansur bin Yunus, Kasysyaful Qina’ ‘An Matnil Iqna’, tahqiq: Lajnah khusus dari Kementerian keadilan, 2008 M, cet. 1, Kementerian Keadilan Saudi Arabia, 14/92.

[23] HR. Bukhari dalam Shohih Bukhari, no. 2449, 3/129.