Penulis: Dwi Ahmad Fauzi
Berdakwah merupakan perbuatan yang sangat mulia di mata Allah dan manusia. Setiap manusia, mempunyai cara dan peran dakwah yang berbeda-beda. Sebagian mereka, berdakwah lewat panggung ceramah, dengan memberi udara segar berupa motivasi dan ungkapan hikmah. Ada pula yang berdakwah lewat jalur mengajar, dengan mendirikan madrasah, pesantren, dan universitas islam. Ada lagi yang berdakwah melalui tulisan, merangkai inspirasi dalam goresan tinta pena dan lembaran kertas sampai menjadi kumpulan karya tulisan yang dibaca oleh keturunan generasi hingga di dunia keabadian. Dakwah sendiri, mempunyai nilai tinggi dalam kacamata Islam sebagaimana yang telah disinggung di awal tulisan.Dalam firman-Nya, Allah berkata:
“وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ.”[1]
Artinya:
“Dan siapakah yang perkataannya lebih baik daripada orang yang mengajak orang lain untuk mengenal Allah dan mengerjakan kebajikan seraya berkata, “Sungguh, aku termasuk orang-orang muslim (patuh dan berserah diri)?”
Namun, kendati mempunyai nilai yang luhur, berdakwah juga mempunyai siasat yang juga menjadi unsur penting dalam mewariskan ilmu untuk generasi selanjutnya. Salat satu siasat yang jarang dilirik kembali di era digital sekarang ini adalah rasa tanggungjawab dalam bentuk menelaah kembali terhadap ilmu yang ia dapatkan.
Tidak bisa dipungkiri bahwa di era yang serba digital, sebagian besar aktivitas manusia terekam di dunia maya. Karena media sosial sifatnya pluralistis (beraneka ragam), semua orang dapat berbicara semaunya, menikmati dan membuat tayangan sebebas-bebasnya, dan mengakses jaringan internet untuk memberikan informasi tanpa ada yang menghalanginya. Kebebasan bermedia sosial ini, melahirkan beberapa persoalan seputar pengetahuan. Nilai ilmiyah dan validalitas sebuah informasi menjadi sangat menurun, di mana berita hoaks yang sudah dibumbui dan diracik dengan narasi-narasi buatan nafsu sendiri, menjadi menu utama bagi kalangan orang awam. Ditambah lagi, orang yang sifatnya gemar menyampaikan apa yang ia baca dan dengar, “Wah, ini informasi bagus, aku bagikan ini ke teman-temanku biar mereka pada tahu,” kata hatinya. Padahal, hakikat menyebarkan informasi atau pengetahuan apapun yang ia dengar, ini merupakan langkah yang terburu-buru yang bisa membawa ke jurang dosa. Jauh-jauh sebelumnya, Islam mengingatkan tentang hal ini. Dalam hadis Nabidikatakan:
“كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ.”
“Cukuplah manusia dianggap berdosa manakala menceritakan setiap apa yang ia dengar.”[2]
Informasi hoaks terkait urusan dunia menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, mulai sebab pertikaian antara personal sampai organisasi dan kegaduhan di masyarakat. Lantas, bagaimana dengan perkara simpang siur terkait agama? Dampaknya lebih buruk dari semua itu. Jika kita sedikit kembali menyimak video-video ceramah yang memenuhi media sosial, sering kali mendengarkan hal-hal yang belum ketahui, mungkin awalnya menganganggap itu adalah ilmu baru, tetapi setelah diteliti lagi, terdapat pemahaman yang keliru. Sebagai contoh, di aplikasi Tiktok dan Instagram, mulai banyak yang menyuguhkan ilmu pengetahuan seputar keislaman yang tentu, tidak semua bisa diterima begitu saja karena banyaknya celah salah memahami, atau dari awal pengetahuannya yang salah. Mengapa demikian? Setidaknya ada hal yang melatarbelakangi hal tersebut yaitu:
Berbicara Agama dengan Pertimbangan Asal Niatnya Baik
Orang yang berpikiran seperti ini, cenderung tidak teliti dalam menyampaikan ajaran Islam, bahkan sering kali terpeleset dalam jurang kesalahan. Gambarannya, ia sedang mengumpulkan pengetahuan dan pemahaman yang membingungkan. Betul, niatnya menyampaikan kebaikan dan peringatan. Namun, karena tidak menyaring pengetahuan terlebih dahulu dan mempertimbangkannya, membuatnya melakukan kekeliruan yang berkali-kali. Mungkin orang awam mengira ia sedang menyuarakan kebenaran, tetapi di mata akademisi, apa yang ia sampaikan tidak didasari referensi.
Jika sedikit kembali melihat faktor munculnya hadis palsu, maka sejatinya sedang dihadapkan cermin untuk refleksi kembali. Salah satu sebab utama muncul hadis-hadis palsu atau ada dugaan besar atas kepalsuaannya ialah karena tingkah orang-orang yang mempunyai niat baik, ingin memotivasi orang lain, hanya saja mereka tidak jujur dan berani berdusta atas nama Nabi ﷺ supaya beritanya menjadi dipercaya.
وَرَوَى ابْنُ حِبَّانَ فِيْ مُقَدِّمَةِ ((تَارِيْخُ الضُّعَفَاءِ)) عَنِ ابْنِ مَهْدِيٍّ، قَالَ: قُلْتُ لِمَيسَرَةَ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ: مِنْ أَيْنَ جِئْتَ بِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ، مَنْ قَرَأَ كَذَا، فَلَهُ كَذَا؟ قَالَ: وَضَعْتُهَا أُرَغِّبُ النَّاسَ فِيهَا.
“Ibn Hibban (w. 354 H) dalam pendahuluan kitab Tarikh Adh-Dhuafa, menceritakan dari Ibn Mahdi ia berkata, “Aku telah bertanya kepada Maysarah bin Abdi Rabbihi. Dari mana kamu mendapatkan hadis-hadis ini. Barang siapa yang membaca ini, akan mendapatkan pahala ini?” Maysarah menjawab, “Aku membuat hadis-hadis palsu untuk memotivasi manusia sehingga mereka menjadi giat beramal dangan hadis-hadis tersebut.”[3]
Tidak cukup di situ, bahwa upaya ulama mengingatkan hal ini untuk menahan diri dari menyebarkan ilmu (yang belum ditelaah kembali keabsahannya) itu sangat serius. Sebab, hilangnya control dalam recheck, tidak memastikan kebenarannya dengan bertanya kepada orang yang lebih paham, atau tidak melacak sumbernya langsung dari apa yang didengar di referensi-referensi yang ada, membuat permasalahan baru di internal Islam itu sendiri (menyebarkan hal yang belum jelas sumber kebenarannya). Karena enggan sedikit memaksa menjaga keilmiyahan suatu ilmu agama, itu berarti, belum siap untuk mendukung dakwah islam itu sendiri, tidaknya itu, kecuali suatu tindakan nafsu yang berjubah islam. Jangan sampai termasuk orang jenis ini, yakni sebagaimana yang disindir halus oleh imam Syafii (w. 204 H),
وَقَدْ تَكَلَّمَ فِي الْعِلْمِ مَنْ لَوْ أَمْسَكَ عَنْ بَعْضِ مَا تَكَلَّمَ فِيْهِ مِنْهُ، لَكَانَ الْإِمْسَاكُ أَوْلَى بِهِ وَأَقْرَبُ مِنَ السَّلاَمَةِ لَهُ إِنْ شَاءَ الله.
“Sungguh, ada orang yang berbicara tentang ilmu tertentu, jika ia diam dari sebagian apa yang ia bicarakan, maka diamnya lebih utama dan lebih dekat dari keselamatan, insyaallah.”[4]
Oleh karena itu, hal ini bukan untuk menakut-nakuti orang dalam berdakwah yang sedang berapi-api, tetapi ini menjadi bekal wajib yang harus dimiliki setiap pendakwah. Sebab, yang namanya ilmu, di mana-mana itu didahulukan daripada pengamalannya, apalagi sekedar rasa semangatnya. Dari sisi ini saja, Ibnu hajar al-asqallani rahimahullah, membuat satu bab tersendiri, yaitu “Bab al-ilm qabla al-qauli wa al-‘amal.”[5]
Ketika mengajak orang lain mengenakan gambaran agama Islam, maka proses menguji kembali apa yang didapatkan, merupakan hal dasar untuk melepaskankan diri dari kesamaran dan keraguan yang bisa mengotori gambaran islam itu sendiri, dan mendekati kebenaran. Kendati nantinya, tidak ditularkan ke orang lain karena untuk i’tikad pribadi, tetap harus memeriksa kembali ilmu yang didapatkan sampai detik ini. Bagaimana ceritanya, seorang yang dianugrahi akal untuk menfilter, itu bisa menerima dan membenarkan begitu saja hanya karena hati sudah tersihir dengan cover duluan sebelum sampai pada subtansi?
Sebuah tantangan baru bagi para penyebar kebaikan di era digital sekarang ini, di mana, kalau dulu (sebelum adanya medsos), kesalahan dan kecerobohan orang, bisa terlupakan dengan seiringnya waktu berjalan. Namun, tidak dengan kesalahan dan kecerobohan dalam menyebarkan informasi yang sudah pasti, tercatat di media sosial untuk jangka panjang. Meskipun sudah dihapus di akunnya, para pembenci jauh-jauh hari sudah menyimpan untuk dilontarkan di waktu yang tepat dala, ,misi menjatuhkan namanya.
Namun, hal itu bisa diperbaiki dan dibenahi selama ada rasa peduli dan tanggungjawab atas apa yang ia sebarkan, minimal dapat menjawab takkala ditanya, “dari referensi mana hal tersebut bisa ditemukan?” Dan hal ini juga, membuat pendakwah tidak terlalu berat hisabnya nantinya dan mendakwahkan nilai keabsahan dari kebaikan tersebut.
Tidak perlu khawatir dan takut setelah membaca tulisan ini, rasa spirit menyebarkan ilmu agama itu tetaplah harus dihidupkan kembali dengan dilengkapi amanah ilmiyah di dalamnya. Abdullah Ibnu Mubarak (w. 181 H) memiliki pandangan yang menarik terkait dakwah, Ia melihat bahwa orang yang memiliki kelebihan dan kejujuran dalam berucap, kemudian ia mengambil sampel berupa para ahli hadis. Para ahli hadis ini seandainya tidak dipedulikan dan kami tingagalkan, maka ilmu agama ini akan hilang. Sebaliknya, jika kami mempedulikan dan memenuhi kebutuhan mereka, maka mereka yang akan menyebarkan ilmu untuk umatnya Nabi Muhammad. Sampai pada kesimpulannya, menyebarkan ilmu mempunyai derajat yang tinggi setelah derajat kenabihan. Hal ini tercatat dalam kitab Tarikh karangan Ibnu Asakir.
“فَقَالَ: إِنِّي لَأَعْرِفُ مَكَانَ قَوْمٍ لَهُمْ فَضْلٌ وَصِدْقٌ، طَلَبُوا الْحَدِيثَ، فَأَحْسَنُوا الطَّلَبَ لِلْحَدِيثِ، وَحَاجَةُ النَّاسِ إِلَيْهِمْ شَدِيدَةٌ، قَدِ احْتَاجُوا فَإِنْ تَرَكْنَاهُمْ، ضَاعَ عِلْمُهُمْ، وَإِنْ أَغْنَيْنَاهُمْ بَثُّوا الْعِلْمَ لِأُمَّةِ مُحَمَّدٍ ﷺ، وَلَا أَعْلَمُ بَعْدَ النُّبُوَّةِ دَرَجَةً أَفْضَلَ مِنْ بَثِّ الْعِلْمِ.”ِ[6]
“Abdullah Bin Mubarak berpandangan: Sungguh, saya mengetahui tempatnya kaum yang memiliki kemuliaan dan kejujuran, mereka mempelajari hadis sampai serius mencarinya, sedangkan di sisi yang lain, manusia sangat butuh terhadap mereka. Jika saya abaikan mereka, maka ilmunya akan hilang, jika kami memenuhi kebutuhan mereka, niscaya mereka yang akan menyebarkan ilmu agama ke umatnya Nabi Muhammad. Dan saya tidak mengetahui derajat yang lebih mulia dari menyebarkan ilmu setelah derajat kenabian.
Berdasarkan ini, untuk menyimpulkan bahwa menyebarkan ilmu itu memiliki pangkat yang luhur di bawah keluhuran kenabian, beliau mencontohkannya dengan para ahli hadis yang sangat menjaga tradisi kritis dalam menukil ucapan Nabi. Ini isyarat bahwa ada ikatan yang harus terus dijalin antara menyebarkan ilmu dan menelaah kembali ilmu tersebut sebelum diajarkan. Oleh karenanya, spirit menjunjung amanah ilmiyah dan rasa kritis dalam menerima ilmu, itu harus terus mengikat membersamai rasa semangat menyebarkan kebaikan dan ilmu keislaman kepada orang lain.
[1] QS. Fussilat (41:33).
[2] Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, vol.5, (Dar Ibnu Hazm: Beirut, 1997), cet. 1, hal. 167.
[3]. Thanthawi Jauhari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an al-Karim, vol. 3, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyah, 2016), hal. 147.
[4]. As-Syafii, al-Risalah, Tahqiq: Ahmad Muhammad Syakir, (Beirut: Dar al-kotob al-ilmiyah), hal. 41
[5]. Al-Asqalani, Fath Bari syarah Shahih al-Bukhari, vol. 1, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyyah, 2017), hal. 146
[6]. Ibnu ‘Asakir, Tarikh Madinah ad-Dimasyq, Tahqiq: Musthafa abdul Qadir ‘Atha, Vol. 18, (Beirut: Dar al-Kotob al-Ilmiyyah, 2012), hal. 312.